SUGAR - Bab 1
Sugar dan Pemuda Pangandaran
Sugar dan pemuda pangandaran sama-sama melempar pandangan jauh ke garis horizontal
pemisah biru langit dan biru air. Keduanya duduk
bersampingan beralaskan pasir putih dengan wajah lurus menatap garis cakrawala
tak berbatas. Mereka seakan-akan berlomba menggencarkan kebisuan dalam riuhnya
suara ombak dan pekiknya sinar matahari. Kebisuan yang bertubi-tubi muncul setelah
kata-kata yang terlontar beberapa saat lalu dari mulut sang pemuda pangandaran. Serangkaian
kata yang cukup membuat mulut Sugar bungkam dan tak lagi
memperlihatkan deretan gigi-gigi terawat putihnya kala tertawa kepada sang
pemuda.
Di
senja dua hari yang lalu pemuda pangandaran bertanya kepadanya,
"ini bukan musim turis, bukan musim liburan. Apa yang kamu lakukan
disini?"
Sugar hanya berujar "banyak hal yang bisa dilakukan disini oleh banyak
orang selain menjadi turis” hanya itu sambil tak lupa ia memamerkan gigi-gigi
tertata rapi dan bersihnya untuk memberikan sebuah senyuman.
Tak
jauh dari situ hanya ada sepasang lelaki dan perempuan ras kaukasia berjemur
menelantangkan badan, menyerahkan kulit pucat mereka kepada matahari. Masing-masing
mengenakan pakaian pantai berwarna hitam. Fokus pandangan pemuda pangandaran beralih
ke lekukan tubuh wanita berambut pirang ketika bangun menegapkan badan meraih
sebuah botol plastik putih dan menyodorkan ke lelaki disebelahnya sembari menunjuk
punggungnya agar si lelaki menggosok punggung si wanita dengan krim dalam botol
tersebut.
Pemuda
pangandaran menarik nafas ketika lelaki itu membuka tali ikatan penyangga buah
dada si wanita dan mulai mengusap punggung wanita yang sudah terbujur di pasir
dengan posisi dada menghadap kain pantai yang digelar di atas pasir. Jari-jari
pria bergerak menyusuri lekukan punggung sang wanita. Krim yang dilulurkan
membuat permukaan punggung wanita itu bersinar disapu sinar matahari. Terpana
pemuda pangandaran melihat punggung memikat si wanita.
Sugar mengerling kepada pemuda pangandaran yang dengan cepat mengalihkan pandangannya
dari tubuh setengah telanjang wanita asing kembali ke paparan datar biru langit
dan biru air.
“Saya mau lihat air lebih dekat,” ucap Sugar. Lalu ia bangkit dan berlari kecil menghampiri pesisir. Gulungan air kecil menghampiri dirinya.
Kakinya menyentuh air hangat pantai pangandaran. Jika gelombang terlalu besar,
ia mundur ke belakang agar tak mengenai t-shirt abu-abu longgar dan celana
pendek hawai nya. Tarik ulur ia dengan air gelombang agar
bajunya tak basah dan tak perlu mengganti pakaian.
Sugar datang dari Jakarta, kota besar dengan ancaman kepadatan penduduk dengan kerumunan
roda-roda bermesin yang menggilas jalan-jalan di Jakarta setiap harinya dan
memuntahkan polusi di setiap sudut kota. Itu adalah pemandangan yang harus ia
lalui setiap hari dan berjuang melewatinya jika ingin pergi bekerja, bertemu
teman di mall, dan keperluan lainnya di seputar kota metropolitan. Kota dengan
kerumetan lalu lintas melebihi sekerumunan semut-semut yang bahkan mampu
berbaris rapi menuruti jejak-jejak penciumannya.
Maka
tak ada yang lebih ia syukuri kali ini dibandingkan hamparan pemandangan alam
yang ditawarkan oleh pantai Jawa barat yang ia tempuh dua hari yang lalu dengan
perjalan bus selama 6 jam. Oksigen bercampur senyawa garam laut ia hirup
bulat-bulat. Paparan dosis besar sinar UV yang menerpa kulitnya tak menyurutkan
antusiasnya berlari kesana-sini dengan bermain tarik ulur dengan rentetan ombak
jinak.
"Waah!" sekonyong-konyong gadis kota terjatuh menghadang air beserta buih-buih hasil
gelombangnya. Bajunya basah sudah. Tahu-tahu berdiri di sebelahnya si pemuda
pangandaran memasang wajah puas nan jahil sukses mendorong punggung Sugar tanpa aba-aba.
Sugar menyeringai, sekelebat ia mencipratkan air, “pyaar”, kena muka pemuda
pangandaran. Gerakan berikutnya, si gadis mendorong jatuh pemuda yang masih
dengan mata terpejam menghindari serangan air ke arah mukanya. Tak bisa
mempertahankan keseimbangannya, si gadis malah ikut terjerembap dengan pemuda ke
air. Beberapa detik sebelum mereka bangun, kembali gelombang menghantam
punggung dan menarik badan mereka ke dalam air.
Keduanya
terawa lebar ketika sama-sama bangkit. Baju masing-masing kuyup sudah terkena
air laut. Awalnya mereka berdua berniat tak mau kena air karena tak ingin repot
nantinya harus mandi dan ganti baju. Namun tahu sudah terlanjur basah, keduanya
jadi tak ragu membenamkan badan, berenang kesana kemari, saling dorong, ciprat
air ke muka untuk bergembira.
Tak
ada lagi pikiran tali bikini wanita asing dengan punggung tergosok mengkilap dalam
pikiran si pemuda pangandaran. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah sosok
gadis di depannya. Tentang rambut ikal halus sebahunya, kulit kuning langsat yang
sebenarnya lebih indah dibanding kulit putih pucat berbintik-bintik merah
wanita asing itu, bibir merah muda nya, badannya yang ramping semampai, spontanitasnya,
tawanya, semua yang ada pada dirinya yang baru ia kenal selama kurang lebih dua
hari terakhir.
Namanya Sugar, jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi gula. Lucu sekali ya. Bahkan dari awal aku bisa
merasakan ia adalah seorang spesial.
Pikiran pemuda memicu syaraf-syaraf otak mengakibatkan sensasi menggelitik
menyenangkan dalam tubuhnya. Seperti ada cairan kimia
yang bereaksi dan meluncur di aliran darahnya. Sudah lama ia tak merasakan
sensasi ini. Dan ia menikmati setiap momen yang dilalui bersama Sugar. Hanya
satu hal yang membuat nya getir, yaitu kenyataan bahwa bus jurusan
Pangandaran – Yogyakarta dalam 3 jam akan membawa gadis ini menuju kota lain. Dan ini cukup
membuat nelangsa hati sang pemuda. Bayang-bayang akan sebuah trauma muncul
lagi.
Sebelum kami main air tadi, aku menyatakan kalau aku menyukainya. Aku tidak perduli kalau aku aku mengungkapkan perasaanku terlalu cepat sehingga membuatnya bisu beberapa saat. Yang aku tahu adalah ia seorang yang istimewa dan aku tak ingin kehilangan seperti yang pernah aku alami...
Bersambung...
Comments
Post a Comment