SUGAR - Bab 3

Maureen - Perjalanan baginya adalah untuk tersesat

Pantai Saint Guirec Ploumanac'h Bretagne, Prancis
Matahari mulai turun. Alam beringsut hening. Manusia terpukau. Waktu adalah rangkaian dari cerita-cerita. Dan rangkaian cerita apa yang akan terjadi setelah sepenggal matahari turun dan naik esok hari tak ada yang tahu. Karena tak ada yang manusia ketahui kecuali ingatan masa lalu.
Dan bagi Ferri, masa lalu yang paling besar sekaligus paling menghantuinya adalah Maureen.

            Maureen, melakukan perjalanan seorang diri dari kota asalnya Canberra menuju beberapa kota di Indonesia berbekal tas punggung 25 liter yang terus ia bawa selama perjalanannya. Seperti kebanyakan warga Australia yang berinisiatif melakukan liburan, Bali merupakan tujuan utama mereka. Begitu juga dengan Maureen yang sudah beberapa kali pergi ke Bali dengan teman-teman ataupun keluarganya. Dan saat itu, tahun 2005, Maureen memutuskan menjelajahi kota-kota lain di Indonesia seorang diri. Maureen yang pada saat itu berumur 25 tahun tidak gentar untuk melakukan perjalanan seorang diri. Bermodal uang simpanan dari pekerjaannya yang ia kumpulkan sebagai kasir di mini market di Canberra, ia berhasil menyisihkan gajinya dengan tinggal di flat seluas 25 m dan tidak berlibur selama 2 tahun, ia memutuskan mengakhiri pekerjaannya dan pergi dengan tas punggungnya ke Indonesia.
            Bali adalah kota yang sudah akrab dengannya bertahun-tahun. Ketika ia kecil, orangtuanya yang belum berpisah membawa ia dan adik laki-lakinya pergi berlibur ke Bali. Ketika ia remaja, sampai sekarang pun orang-orang di sekelilingnya acap kali membicarakan rencana berlibur ke Bali, pergi surfing di pantai Kuta atau perihal pantai-pantai lain yang layak untuk dikunjungi.
            Sesudah satu bulan berada di pulau Bali, ia melanjutkan perjalanan ke Lombok, lalu ke pulau Jawa menyusuri kota-kota seperti Malang, Surabaya, Jogjakarta dan sampailah ia di Pangandaran. Bukanlah kota yang menarik pada awalnya. Daya tarik wisata yang paling opular adalah Pantai Pangandaran yang hampir sepanjang garis pantainya dilarang berenang karena ombaknya yang tinggi. Hampir dia ingin meninggalkan kota ini untuk mengunjungi kota lain, sampai akhirnya dia bertemu seorang pemuda. Ferri namanya.
~~~~~~~~~~~~
            Di suatu pagi, seseorang mengetuk keras pintu kamar penginapan yang ia sewa bersama seorang warga negara Australia juga bernama Lily yang ia kenal selama perjalanan di dalam bus menuju Pangandaran. Seorang pemuda lokal dengan aksen bahasa inggris yang sangat baik hadir di depannya ketika ia membuka pintu.
            “Hai Maureen kan? Teman kamu Lily pergi dengan temanku Dito.”
            Maureen yang sudah terbangun tak langsung menanggapi melainkan bersungut-sungut karena beberapa hal ; karena sebenarnya dia sudah ingin meninggalkan kota Pangandaran dari dua hari yang lalu, karena hanya beberapa saat disini, ia sudah merasa bosan. Lily dan dirinya telah memutuskan untuk melanjutkan ekspedisi tas punggung mereka keliling Indonesia. Jika bukan karena ia, Maureen sekarang mungkin sudah di Sumatera dan tidak membuang-buang waktu dan uang untuk membayar penginapan ini. Dan ternyata sekarang ia paham apa yang membuat Lily tertahan disini. Seorang pemuda lokal bernama Dito yang ditemui mereka bersama dengan temannya Ferri di Batu Karas itu telah menarik hatinya. Oleh karena itu Lily tak juga bisa meninggalkan tempat ini dan Maureen masih bersabar menunggu hingga Lily siap berangkat bersama dirinya melanjutkan petualangan.
            “Halo, Maureen. Do you hear me?” Ferri menggoyang-goyangkan tangannya di depan muka Maureen, menyadarkan Maureen yang sedang berada di bulan.
            “Oh sorry Ferri. I’m just a little bit upset with Lily. Dia seharusnya beritahu aku kalau dia mau pergi. Kalau tahu begini, lebih baik aku pergi dari kemarin. »
            Terlihat sekali air muka Maureen yang berubah jadi sangat tidak menyenangkan. Pikirannya berkelabat untuk meninggalkan Lily disini dan sore ini juga ia akan pergi ke terminal naik bus meninggalkan kota ini.
            "Why don’t you come with me ?" Ferri mengemukakan ide nya.
            “What?” Maureen tidak terlalu mengerti ajakan Ferri untuk pergi bersamanya.
            “Aku mau pergi ke pantai. Para nelayan harusnya sudah pulang dari pencarian ikannya. kalau beruntung, aku bisa dapat ikan besar dengan harga murah. Nanti kita bakar bersama dan makan di pinggir pantai."
            Senyum merekah di wajah Ferri. Senyum yang membuat Maureen membayangkan tawar menawar ikan di pantai dari nelayan yang baru pulang melaut, disambung dengan makan ikan bakar buatan sendiri sama menariknya dengan senyum mengambang di wajah pemuda pangandaran ini.      

            “Ayolah. Kalau kamu mau berangkat nanti malam ke stasiun untuk berangkat juga kamu masih ada waktu. Don’t worry. At least you have something to memorize of before you set your feet off of Pangandaran.
Maureen tidak menolak.

            “Hai Ferri!” seorang nelayan menghampiri lelaki bertubuh tegap tersebut. Ia turun dari perahunya dan bersama dengan rekan seprofesinya, dibantu dengan Ferri, para lelaki tersebut menarik tali untuk mendaratkan perahu pencari ikan di hamparan pasir pantai. Dari jarak beberapa meter dari tempat Maureen berdiri, Ferri terlihat akrab dengan grup nelayan tersebut. Mereka berbicara bahasa Indonesia yang tidak Maureen mengerti barang sepatah kata pun. Salah satu dari mereka melirik ke arah Maureen, diikuti dengan lirikan Ferri dengan senyuman ke arah Maureen. Yang lain turut mengarahkan pandangan kepada Maureen sambil tersenyum, beberapa melambaikan tangan. Maureen bisa menduga bahwa mereka sedang membicarakannya. Tidak hanya tatapan nelayan yang menghampiri Ferri, tapi juga nelayan-nelayan lain, pendududuk lokal, tua dan muda, wanita dan laki-laki, rata-rata berebut pandangan ke arah Maureen. Ada yang nyata-nyata melotot ke arahnya, ada yang memandang sekilas, pura-pura acuh, namun kembali memandang saat Maureen melemparkan pandangan ke arah lain. Dan adalah hal yang sudah dimaklumi oleh Maureen ini bahwa orang asing selalu menjadi pusat perhatian di tengah-tengah keramaian. Rambut pirang di antara rambut hitam, mata biru di antara mata gelap kehitaman, kulit putih pucat di antara kulit nuansa kuning kecoklatan menjurus legam. Semua itu adalah alasan ketertarikan di antara mereka. Hakikatnya manusia menaruh perhatian pada yang tidak biasa ia lihat.
            Fakta yang sama untuk menjelaskan kenapa orang-orang Indonesia ini seperti mau copot matanya ketika melihat “bule”. Terminologi “bule” sudah diketahuinya sejak lama, bahkan sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di Bali. Alasan yang sama kenapa banyak penduduk dari negara yang mempunyai musim dingin menyengat pergi ke kawasan yang lebih hangat dan berpakaian setengah telanjang begini tiap kali matahari bergantung di langit untuk membakar kulit agar sama eksotisnya dengan penduduk Asia Tenggara ini. Dan dengan teori ini, Maureen pun paham ketika banyak dari kolega kerja nya pergi ke Bali dan akhirnya berpasangan dengan wanita Indonesia yang warna kulitnya sama sekali tidak putih.
            Grup nelayan bersama Ferri mulai membongkar muatannya. Tampaknya mereka berhasil memanen banyak hasil laut. Maureen takjub melihatnya dan mendekat kepada grup nelayan yang mulai menarik perhatian dan menarik orang-orang untuk mendekat. Maureen tak terlalu paham jenis-jenis ikan. Di antara bau amis dan bau anyir laut yang menjadi satu, yang bisa Maureen lakukan adalah mengagumi warna warni sirip yang mencuat di antara gelimpangan ikan-ikan yang masih menggelepar, menandakan masih adanya kehidupan ekosistem laut malang calon panganan manusia di jejaring lebar milik grup nelayan kenalan Ferri.
            “I got the deal Maureen. Dua ratus ons ikan ini akan aku beli dengan harga super murah! Nanti kita bakar di pinggir pantai yah!” Ferri mengangkat tinggi-tinggi satu plastik hitam gembung di tangan kanannya. Tangan kirinya juga diangkat sama tinggi untuk menjulurkan jarinya menunjuk ke arah plastik basah dengan ikan-ikan yang masih meronta di dalamnya. Maureen bungkam sejenak. Sekonyong-konyong bau amis lenyap di udara, digantikan oleh gelembung pesona senyum lebar pemuda Pangandaran yang merekah di udara.                                                                                                                                                            
            “This thing so kicks ass! Ini ikan bakar paling enak sedunia! Tidak pernah aku coba yang seperti ini. Terutama dengan saus yang kamu bawa, tambah enak Ferri!”
            “Really?” Ferri tak kalah semangatnya menanggapi Maureen.
            “Absolutely! Memang agak pedas sedikit sih saus nya, tapi wow ! I’ve never tasted  something like this before!”
            Tangan Maureen penuh dengan saus kecap, irisan bawang mewah, dan segelintir irisan cabai hijau. Cairan itu meleleh dari tangan kanannya yang mencuil daging ikan bawal beralaskan daun pisang di hadapannya. Sementara tangan kirinya terampil mencabuti duri-duri yang menempel pada ikan yang telah dibakar di atas api unggun buatan Ferri.
            Maureen menikmati cuil demi cuil ikan yang dibakar selama setengah jam dengan kayu kering yang dengan mudah ditemukan Ferri di sekitar pantai. Dari sudut matanya, Maureen sadar bahwa beberapa kali Ferri yang duduk di sampingnya berhenti sejenak mengunyah dan mengamatinya. Ia bahkan merasa Ferri mengulum bibir menahan senyuman tiap kali ia memandang Maureen.
            Apa kelakuanku ini konyol ? Atau Ferri yang makin lama makin tertarik padaku?         
            Ada debar yang aneh di dada Maureen.
            “Masih lapar?”                                                                                                                       “Nah, I’m good.” Maureen yakin jika ada di antara mereka yang lapar, orang itu pastilah Ferri karena daritadi cuma dia yang rakus menguliti dan mengibiri ikan bakar. Sedang Ferri hanya sesekali menyantap ikan tersebut dan malah sering kali secara sembunyi memandang Maureen.
            “Tentu saja kamu tidak lapar, kamu makan hampir semua yang aku beli. 200 ons kamu makan sendiri.” Ferri tergelak.                                                                                                 
           “Heh. Bisa saja. Tapi tidak apa-apa kan ya karena mungkin aku tidak akan pernah makan sepeti ini lagi karena aku akan pergi.”
            Para nelayan yang menjual ikan-ikannya pada Ferri berjarak cukup jauh dari tempat mereka berada. Sesekali Maureen mengamati titik tersebut yang makin lama makin ditinggalkan keramaian hingga tinggallah mereka berdua di sekitar pantai ini. Di sekitar Maureen dan Ferri hanya ada gulungan air kecil menerpa permadani pantai, angin turbulensi kecil berhembus mengelilingi mereka. Maureen membenamkan jari-jari kakinya di pasir putih.
            Langit menorehkan guratan-guratan panjang gradasi tanpa ujung. Warnanya tak lagi bercorak putih awan menghiasi warna dasar biru ringan, melainkan warna gradasi merah, violet, orange di garis yang memisahkan darat dan laut.
            Itu adalah warna senja. Bagi Maureen tak ada yang lebih menenangkannya dibanding suasana sendu saat langit melepas matahari terbenam. Maureen menyukai sinar yang pergi meninggalkan kehampaan, saat dimana matahari secara perlahan dan anggun mengucapkan sampai bertemu kembali kepada alam semesta dengan fraksi-fraksi warna.
            Saat itu juga Maureen sadar bahwa ia ingin selamanya begini, ia tak ingin cepat-cepat beranjak dari sini. Segalanya sempurna di hadapannya, matahari, senja, pantai, Ferri…
            Shit. Wait. Am I really hearing myself stating name of a man that I barely know ? Apa yang baru saja aku pikirkan? Ferri?!
            “You okay there?” Ferri merapatkan alisnya memandang Maureen yang seperti terkejut sendiri. 
            “Oh ya.”
            Oh ya, hanya itu yang bisa Maureen katakan. Hanya dua silabus itu yang hanya bisa secara refleks diucapkannya dibalik keterjutannya yang tak bisa ia jelaskan kepada lelaki di hadapannya.                                                                                                                                 
           Kamu sudah lama berada di kota ini Ferri?” Maureen berhasil mengambil kontrolnya kembali dengan membuka percakapan basa-basi.
            “Cukup lama sampai aku tidak yakin sudah berapa tahun aku disini.” Mendadak Ferri serius mengamati kayu kering dekat kaki kanannya. Sebegitu menariknya kayu kering tersebut seakan ia menunggu seonggok kayu tersebut akan berjalan merambat dengan kaki-kaki yang disembunyikan di bawah perutnya.
            “Sayang sekali kamu harus pergi dari sini tak lama lagi. Matahari sudah terbenam. Bus yang membawamu pergi tidak lama lagi datang. Apa kamu sudah menyiapkan tas mu ?" Ferri terkesan berhati-hati mengalihkan pembicaraan.
            "Ya. Aku sudah menyiapkannya sebelum berangkat kesini tadi. Haah rasanya capai sekali hari ini, padahal aku tak melakukan apapun selain pergi ke pantai ini bersamamu dan menghabiskan ikan yang kamu bakar.”
            “Well, jadi kamu sekarang sadar kalau mungkin tadi kamu sempat kemasukan setan penghisap tulang ikan.”Ujar Ferri sambil tersenyum jahil.
            Maureen geli mendengar Ferri mencandainya. Semburat warna kemerahan muncul di pipinya.
            “Hey, I’m good at feet massage. Need some to break your fatigue?” Tawar Ferri sambil menunjuk sepasang kaki ramping Maureen yang terentang di sebelah api bekas bakar ikan tadi.
            “Really? Oh I like to be massaged. Bring it up!” Maureen girang menerima tangan-tangan Ferri yang mendekat ke arahnya. Kedua tangan Ferri meremas kaki kanan Maureen.
            Surya tenggelam dan perlahan-lahan menarik jejak-jejaknya di semesta, semburat warna merah, violet, orange perlahan raib digantikan dengan warna biru tua, kemudian pekat datang dan hitam menggenggam.
            Maureen nyaman dibawah langit yang mulai meredup, diatas pasir yang sejuk. Matanya memejam menikmati setiap tekanan jari-jari Ferri di telapak kakinya. Tangan Ferri hangat dan mantap menekan di titik-titik kedua kaki jenjangnya yang hanya dibalut celana pendek berbahan jeans. Dari telapak kaki, Ferri melanjutkan pijatannya ke betis Maureen. Ferri tahu benar membuat otot-otot rileks, ia mengandalkan kekuatan di jari-jarinya untuk melunakkan bagian tubuh yang kaku.
                Sedetik sebelum mulut Maureen terbuka untuk memuji kemahiran pijat Ferri, tangan kekar itu beranjak lebih ke atas, ke pahanya yang mulus. Maureen bungkam. Pijatan Ferri tetap hangat dan mantap, namun kali ini Maureen merasa pahanya sesekali diraba halus. Nafasnya tak lagi teratur karena jari-jari itu memercikkan sesuatu dalam tubuh Maureen. Sesekali ia mendengar dirinya sendiri mendesah, dadanya kembang kempis karena nafas yang tak teratur. Di tatapnya Ferri dengan garis langit dan laut berwarna remang sebagai latar. Dengan sisa-sisa cahaya senja, Maureen melihat mata coklat Ferri yang memandang Maureen. Mengingatkan Maureen akan coklat susu hangat kegemarannya yang sering Ibu buatkan untuknya saat kecil. Alis mata Ferri lebat membentuk sempurna kedua matanya yang lebar menekuk ke dalam. Hampir semua yang ada di wajah Ferri memikat Maureen. Maureen menempatkan tangan kanannya di pipi kiri Ferri, merambat menyentuh bibirnya. Bibir dengan senyum yang dari awal membuat ia terpana.
            Ferri yang tak melepaskan tangannya dari kulit Maureen kini meremas halus pangkal paha Maureen.
            « Oh Ferry. Like I wanna be here forever. Keep touching and kiss me… I want you.” Maureen membumbung di surga dalam pikirannya saat Ferri mencumbu, menjilat, dan menghisap bibirnya, tangannya meraba di titik-titik tubuh yang Maureen suka. Langit malam menghembuskan angin beraroma rumput laut selepas melalap matahari, pasir yang sejuk, bunyi ombak yang menderu merayu membuatnya lupa. Lupa akan Lily, lupa akan bus yang tak lama lagi seharusnya membawa ia pergi.
            Maureen berbisik dalam pikirannya, Oh pemuda pangandaran, bagiku perjalanan adalah saat untuk menyesatkan diri sendiri menuju kebutuhan akan kebebasan. Dan karena tersesat adalah bagian dari perjalanan, aku ingin tersesat selama mungkin dengan kamu disini.           

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Rempah-rempah di Paris

Fatamorgana

Buku Kreatif