SUGAR - Bab 2
Sugar dan Dia Yang Berganti Kulit
Dug!
“Ferri,
nyetirnya bisa pelan sedikit gak ? Ban motornya dari tadi menghantam lubang
terus. Dihindari lubangnya, jangan main terobos gitu.”
Sugar
protes karena walaupun memang sekarang ia menumpang motor bebek milik Ferri, ia
merasa pantatnya tidak pantas beberapa kali menerima antukan jok motor keras membal
oleh roda motor melewati lubang dengan kecepatan diatas rata-rata.
"Maaf
Neng. Ya ya, ni A’ pelan-pelan ya." Ferri dengan dialek sunda nya yang kental meminta maaf untuk kesekian kalinya kepada
Sugar.
Di
belakang punggung Ferri, Sugar mengeluarkan nafas berat dan Ferri tetap tidak
memperlambat laju sepeda motor kumelnya.
Bagaimanapun
juga ia mengagumi keramahan penduduk sekitar Pangandaran. Termasuk Ferri, pemuda
dengan umur yang ia taksir sekitar 30 tahun yang ditemuinya pada hari kedua persinggahannya
di Pangandaran. Mulai dari pertemuan pertama, ia sudah sangat semangat menyarankan
tempat-tempat yang bisa Sugar kunjungi. Namun lokasi yang ia sarankan tidaklah
mudah dicapai dengan transportasi umum. Untuk berpindah tempat, penduduk sini
banyak menggunakan sepeda motor. Dan Ferri, pemuda Pangandaran yang dari
karakteristik wajah lebih cocok menjadi warga di salah satu kota di Sumatra
ketimbang Jawa, menawarkan diri membonceng Sugar menjelajah beberapa tempat
rekomendasi.
Kota
Pangandaran yang berada di provinsi Jawa Barat memiliki topografi yang sulit
ditempuh oleh pelintas jalanan, baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan
bermesin. Aspal yang entah dibuat tahun berapa itu sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Seperti kebanyakan situasi tempat wisata Nusantara, seringkali indahnya tempat
wisata tidak sebanding dengan kemudahan akses transportasi.
Sugar
terhentak oleh ban motor yang kembali menghantam lubang aspal curam dan cukup
lebar. Kali ini ia tidak bereaksi karena sadar bahwa tidak peduli berapa kali
ia protes, tetap si pengemudi di depannya tidak berusaha memperlambat jalan
motor, tidak juga menjadi lebih awas terhadap lubang-lubang aspal yang menganga
merintang di setiap jalan nya.
“Tenang
Neng, sebentar lagi sampai. Ini A’a ngebut biar Neng bisa
lihat matahari terbenam di pantai batu karas.”
Baik
Sugar maupun pemuda pangandaran sama-sama tahu bahwa pantai batu karas yang
terletak ±34 km dari pantai pangandaran bukanlah tempat yang ideal untuk melihat
matahari terbenam. Adalah pantai pangandaran tempat yang seharusnya wisatawan
kunjungi demi mengejar panorama pergantian petang dan malam.
Ide
menuju ke arah Utara Pangandaran adalah dari sang pemuda pangandaran yang
mengajaknya dan Sugar pun tak menolaknya.
“Sering ke batu karas ya A’?” Sugar bertanya dengan menerapkan logat
sunda.
Dengan maksud ingin menyesuaikan diri dengan penduduk sekitar, kepada Ferri, ia menyapa A’, menggunakan kata-kata
monggo, dan terkadang tanpa ia sadari ucapannya menjadi lebih halus seperti
layaknya urang sunda.
“Lumayan
beberapa kali pernah kesini sama mantan Aa’, yang bule itu”.
Bagi telinga yang
sensitif, terdengar intonasi kebanggan dari kalimat Ferri.
“Oh
iya, kan kemarin Aa’ pernah cerita punya mantan bule. Namanya siapa A'? Saya
lupa.”
“Maureen.”
“Aa’ pacaran sama dia lama ? ” Sugar mempertahankan nada antusias.
“Sudah
lama. Ya kira-kira tiga tahunlah. Setahun yang lalu kami pisah.”
Pemuda
pangandaran menghela nafas. Nafas yang berat dan sedih tertangkap oleh Sugar di
antara deru-deru angin.
Sugar
tidak tidak melanjutkan pertanyaan karena tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sejak
kedatangannya di kota ini, ia langsung disambut oleh keramahan
Ferri, seseorang yang ia temui di sebuah rumah makan dekat pantai pangandaran. Sugar
senang dengan kesediaan Ferri menyarankan dan menemani Sugar dalam perjalanan. Namun
harus diakui, karakter Ferri yang terlalu mendesak keakraban dalam waktu
singkat agak mengganggu Sugar.
Sugar
kembali mengingat alasan ia mengepak tas punggungnya dan meninggalkan sejenak
belenggu rutinitas di jantung ibu kota. Ia ingin menyapa alam dan melebur dalam misteri tarik menarik di semesta. Ia ingin melangkah menuju
tempat-tempat hangat dimana angin berhembus, tempat dimana udara sejuk menemani
setiap perjalanannya. Bisa saja ia menyebut ingin pergi ke pantai Batu
Hiu, Batu karas, Pantai Pangandaran, Green
Forest, namun bukan lah semata-mata demi alasan mengikuti rute-rute dimana arus
wisatawan biasa menjejakkan kakinya demi melengkapi tempat-yang-harus-dikunjungi.
Seperti sekarang, alasannya ke batu karas adalah untuk melihat gelombang airnya, keterasingannya,
keeksotisannya. Ia ingin melihat biru air apakah berbeda dengan yang di Pantai
Pangandaran atau apakah riak-riak gelombangnya memang tidak sama dengan yang di
Pangandaran. Ia ingin lihat apakah memang biru langitnya memang benar-benar
tidak bisa dibedakan dengan langit di Jakarta. Ia ingin melihat semua, mati
rasa sejenak untuk merasakan rasa yang lain.
Ia ingin berganti kulit. Ia ingin berubah warna hijau seperti pohon di depan jendela kamar penginapan yang ia sewa. Ia juga ingin berubah warna menjadi kuning seperti padi-padi yang sudah menua dan hanya menunggu untuk dipetik oleh petani. Atau warna ungu seperti bunga liar yang ia lihat tumbuh di sepanjang jalan.
Ia ingin berganti kulit. Ia ingin berubah warna hijau seperti pohon di depan jendela kamar penginapan yang ia sewa. Ia juga ingin berubah warna menjadi kuning seperti padi-padi yang sudah menua dan hanya menunggu untuk dipetik oleh petani. Atau warna ungu seperti bunga liar yang ia lihat tumbuh di sepanjang jalan.
“Kami
pisah karena aku harus ke Sumatra.”
“Apa?”
Sugar
terkesiap dari lamunan, kali ini bukan dari guncangan ban motor yang menghantam
aspal. Namun karena alam pikirannya belum siap menyambungkan logika ucapan
Ferri dengan apa yang mereka diskusikan sebelumnya. Detik kedua, Sugar berhasil
mengembalikan konsentrasi. Bahwa beberapa saat lalu mereka membicarakan sesuatu
yang berkenaan dengan mantan kekasih Ferri.
“Aa’
ke Sumatra karena ada urusan keluarga, “ Ferri menyambung kata-katanya, “Aa’
pergi memang cukup lama, tapi aa’ sudah bilang sama mantanku untuk sabar
menunggu Aa’. Ternyata disini ia selingkuh sama teman aa’.”
Tanpa mendengar jelas di
tengah-tengah gerungan motor tua ini, Sugar merasakan pemuda pangandaran
menelan ludahnya sendiri.
“Temanku
bilang ke dia kalau aku pulang ke Sumatra untuk dijodohkan sama Orangtua ku. Dan
ia percaya. Ketika aku balik, ia mengaku,” Ferri berhenti sesaat seakan
memberikan waktu pada angin untuk menderu melewati mereka, “ia mengaku kalau ia
tinggal bersama dan berselingkuh dengan temanku ketika aku tidak ada. Dan tidak
lama setelah itu ia pulang ke negaranya.”
Sugar
tidak langsung menanggapi. Tepatnya ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Cerita pribadi yang mana ia merasa
belum layak untuk mendengarkan dari seseorang yang baru ia kenal di dua senja
kemarin. Harus ia arahkan kemana cerita cinta tadi dan respon seperti apa yang
baik untuk seseorang yang terbilang masih asing baginya.
Teringat
dengan lamunannya yang terpotong, Sugar akhirnya berkata “Manusia itu punya
sayap loh A’. tapi sayap manusia hanya dipakai di waktu-waktu tertentu saja.
Tapi ada juga manusia yang tidak percaya ia punya sayap dan tidak pernah
menggunakannya bahkan sampai jiwanya tak lagi di bumi. Kalau seseorang sudah
ingin terbang dan ada yang menghalanginya, sayap-sayapnya akan patah dan
jiwanya bisa jadi hancur. Mungkin mantan Aa’ pada saat itu perlu terbang lagi
agar jiwanya tidak ikut hancur bersama sayap-sayapnya. Lagipula sekarang ia
sudah jauh pergi. Biarkan ia terbang A’”.
Sugar
tidak yakin apakah pemuda pangandaran mendengar semua kata-katanya di antara
deru angin yang menerpa. Yang ia rasakan adalah jalan roda sepeda motor tidak
lagi kencang. Ban tetap melindas aspal berlobang, namun kali ini motor
berguncang lebih pelan. Perjalanan berubah menjadi lebih lambat dan halus. Langit
membentuk lapisan-lapisan berwarna violet, orange, merah muda dan biru di ufuk
ujung barat bersamaan dengan akan terbenamnya matahari. Sepertinya pemuda
pangandaran telah lupa mengemudikan kencang kendaraan dua roda nya demi
mengejar waktu sebelum matahari dilalap habis garis laut di ufuk barat pantai
batu karas.
Tanpa Sugar sadari, sedikit demi sedikit pemuda kini berganti kulit dengan secercah warna
violet, orange, merah muda dan biru. Warna-warni rasa yang
ada di dalam sanubarinya berbaur menyatu dengan alam. Semilir angin menyapu lembut airmata pemuda. Dengan penuh kelegaan pemuda tersenyum melepaskan duka bersamaan dengan kulit-kulit suram yang terlepas berganti dengan kulit berwarna-warni senja seperti langit sore ini.
Comments
Post a Comment