Place de la République (Memori tragedi 13 November 2015, Paris)



Place de La République, Paris, Prancis
         

              Kereta yang aku tumpangi bergerak membelah bawah tanah kota Paris. Aku bersama para penumpang di dalam transportasi umum yang disebut “metro” ini cenderung diam dan tenang. Duduk di depanku adalah sepasang orang tua yang tidak berbagi sepatah kata semenjak kemunculan mereka dari empat stasiun sebelumnya. Pandangan mereka sama-sama terarah ke jendela metro yang sebenarnya tidak menampilkan apa-apa kecuali gelapnya dinding fondasi terowongan metro. Bola mata mereka bergerak-gerak mengikuti jalur kabel berwarna-warni yang tampak menyolok di gelapnya dinding dalam transportasi massal parisien (sebutan untuk penduduk Paris). Bentuk mulut keriput mereka melengkung ke bawah seperti kebanyakan parisien yang aku temui setiap hari di metro. Seorang teman Indonesia ku pernah menceritakan bahwa Kakak nya yang juga tinggal di Paris, makin lama lengkungan mulut nya menjadi runtuh ke bawah seperti para parisien lainnya. Katanya “Kita bisa ketularan stress tau disini. Setiap hari ngeliatan orang cemberut di metro, kita jadi cemberut juga.”

            Tak ada sepotong percakapan di antara sepasang orang tua ini, tak ada sekerling curi-curi pandang di antara mereka, apalagi cumbu mesra yang kerap aku lihat di antara pasangan muda di dalam metro. Namun aku mendapati kemesraan yang menghangati hati ku dengan melihat sepasang tangan mereka yang ternyata mendekap erat di atas pangkuan paha kanan si lelaki. Kulihat kemesraan yang terjalin bertahun-tahun sehingga sentuhan pun cukup untuk membuktikan hati yang terikat.

            Aku alihkan pandangan ke arah lain diseberang ku, terlihat seorang lelaki tinggi yang mengenakan setelan pebisnis muda duduk menunduk di dekat pintu metro dengan sebuah bacaan di bawah hidungnya. Setelan eksekutif muda bobo (bobo adalah istilah orang kaya prancis yang suka memperhatikan penampilan) dengan sepasang mantel musim dingin hitam panjang melebihi dengkul, kemeja putih press di badan yang memperlihatkan dada bidang dan perut ratanya, dasi garis-garis berwarna merah dan hitam, celana panjang ketat membungkus kaki atletis si pria, lengkap dengan pantofel hitam mengkilap dengan model runcing di bagian depan. Oh ya, lengkap dengan tampilan jenggot dan rambut masa kini seperti Kendji Girac (penyanyi yang sedang populer di kalangan anak muda prancis berusia pubertas).

            Tak jauh dari sang pemuda bobo duduk, berdiri seorang lelaki muda, yang baru saja menerobos masuk, sedang mendengarkan musik dari speaker handphone sehingga seluruh penghuni gerbong metro dapat mendengar lengkingan musik rap. Beberapa orang melirik tajam ke arah lelaki itu. Namun si pemuda tak menunjukkan tanda-tanda keresahan penghuni lain akan kerasnya musik yang ia putar. Teori ku ada dua; Mungkin orang ini tak sadar bahwa telinga orang-orang di sini berfungsi baik dan dengan memutar musik nya dengan kencang sebenarnya ia sedang memproduksi polusi suara yang bisa membuat tuli orang yang mendengarnya; Atau ia pikir bahwa orang-orang disini semua punya citra rasa musik yang sama dengannya dan berharap kita semua berdansa rap pada akhirnya sambil membenturkan dada satu sama lain atau saling ber-tos tangan asik seperti yang dilakukan penyanyi rap di video klip di televisi.

            Berjuta-juta manusia pernah menaiki metro yang menghubungkan hampir semua titik di kota Paris. Kau bisa menjumpai aneka macam manusia lengkap dengan karakter dan penampilan yang berbeda-beda dan menakjubkan. Namun ada satu yang aku perhatikan disini, bahwa hampir tidak aku lihat seorang turis, ya para turis yang biasanya menyeret koper berat nya atau menenteng tas gendong besarnya dengan mengalungkan kamera DSLR di lehernya sambil tak henti-henti menatap peta metro di tangan mereka. Tak kulihat keberadaan mereka yang selalu massif dan tak peduli cuaca dan musim di kota jantung pariwisata dunia ini sejak malam berdarah itu. Jantungku berdegup kencang mengingatnya, lalu aku alihkan perhatianku ke peta stasiun metro di atas pintu metro. Tujuanku adalah stasiun selanjutnya, stasiun République.

            Keluar dari kereta, langkahku cepat menyusuri lorong-lorong untuk menuju akses keluar transportasi bawah tanah ini. Setiba di luar metro, matahari menyinari hangat Place de la République, yaitu persimpangan jalan besar dengan sebuah patung monumen di tengah-tengahnya. Temperatur di musim dingin siang ini berkisar sekitar 13 derajat celsius. Cukup dingin jika dibandingkan dengan temperatur negara asalku, Indonesia. Namun aku merasakan hawa hangat saat selangkah demi langkah mendekati monumen yang dinamakan Le Monument à la République. Ada beberapa orang yang sekedar lewat, mendekati monumen, berfoto selfie dengan monumen, ada juga yang menungkupkan tangan seperti berdoa ke arah monumen.

            Langkahku terhenti sepuluh meter di hadapan monumen dengan patung seorang wanita patriot di puncak. Selain itu dibawahnya terdapat tiga patung lain yang mewakilkan semboyan negara Prancis Liberté, Egalité, Fraternité, (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan) dan paling bawah terdapat sebuah patung singa yang menyimbolkan hak pilih universal bagi negara demokrasi.  Bunga-bunga, bendera-bendera berbagai negara, lilin-lilin yang sudah tak berapi, tulisan-tulisan graffiti, kertas-kertas berisi ucapan duka penuh meliputi selingkaran monumen tersebut. Sekilas dari jarak ini seperti manifestasi demonstrasi hari kemarin. Sedikit demi sedikit aku melanjutkan langkah mendekati monumen tersebut, semakin aku tak kuasa menahan setitik air mata sampai kedua kakiku hanya berjarak se-meter dari monumen. Sekejap saja, mata ku basah dengan air mata. Dua bulan lalu disini terjadi tragedi berdarah dimana sekelompok manusia yang hanya sekadar lewat yang mungkin habis pulang dari kerja lembur, dari makan malam romantis bersama pasangannya, atau yang sedang berjalan santai, terbunuh di tempat. Tidak hanya di tempat ini, serangan tembakan dan peyanderaan juga berlangsung di beberapa titik di Paris berturut-turut di malam hari itu, 13 November 2015.

            Kubayangkan horor yang dirasakan penghuni dan pejalan kaki yang mendengar suara tembakan membabi buta di sekitar sini pada tragedi itu. Kubayangkan kepanikan mereka dengan bayangan kematian yang bisa jadi nyata bagi mereka malam itu. Aku seperti terbungkus dalam suasana. Hati ku pilu. Aku mendekapkan kedua tanganku dan mulai berdoa dalam hati. Berdoa dengan kepercayaan agama ku yang tak sedikit orang pikir sebagai kepercayaan yang bertanggungjawab atas kematian orang-orang tak bersalah dalam tragedi itu.

            Aku tenggelam dalam doa, Tuhan, aku mencintai-Mu. Layaknya cinta seorang hamba untuk Sang pencipta nya. Dalam cintaku padamu, aku diajarkan untuk menghormati Orang tua ku, menyayangi keluarga ku,  berbuat baik kepada sesama. Namun mengapa ada orang yang menyebut nama-Mu untuk menyakiti satu sama lain ? Aku benci kepada pelaku kekejian itu. Tapi aku tak ingin menebar kebencian. Karena setelah kejadian itu akan banyak manusia yang saling curiga, fitnah, dan benci satu sama lain. Dan aku menolak menjadi korban tujuan mereka. Dan aku berharap bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu. Tuhan lindungi lah aku, Orangtua ku, keluarga ku, dan orang-orang yang kukasihi. Karena hamba percaya bahwa bentuk murni cinta kepada-Mu adalah permintaan untuk mengasihi satu sama lain, bukan menyakiti manusia-manusia ciptaan-Mu yang lain.

            Beringsut-ingsut hati ku kembali tenang dan ku sapu air mata. Orang-orang semakin banyak berdatangan mendekati monumen. Aku pandangi patung wanita bernama Marianne yang menjadi pencintraan Negara Prancis di atas ku. Dengan bangga dan elegan ia menjunjung sebuah ranting zaitun, yang diyakini sebagai simbol kedamaian. Seakan-akan ia sedang menyampaikan pesan adanya harapan untuk kedamaian. Kedamaian, yang tidak hanya diharapkan penduduk Prancis setelah malam naas itu, namun juga penduduk di seluruh dunia. Aku tersenyum cukup lama, lalu menarik dan menghembuskan nafas panjang. Aku tinggalkan Place de la République yang masih hangat oleh curahan sinar matahari dimana orang-orang berlalu lalang dan lalu lintas yang semakin padat di jam makan siang.


            Kehidupan terus berjalan.

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Rempah-rempah di Paris

Fatamorgana

Buku Kreatif